Search This Blog

Wednesday, March 17, 2010

pencipta angklung diatonis

Daeng Soetigna - Pencipta Angklung Diatonis

Lahir di Garut, Jawa Barat, 13 Mei 1908. Sejak kecil mengemari Angklung.Setelah lulus dari Kweekschool 
(1928), Daeng mengajar di Schakel School Cianjur, Jawa Barat (1928-1932), lalu pindah mengajar di HIS Kuningan, Jawa Barat (1932-1942). Pada saat mengajar di Kuningan inilah ia mempelajari seluk beluk angklung secara lebih mendalam.

Encle, nama panggilannya, dikenal sebagai penemu musik angklung diatonis. Awal mulanya ketika dua orang pengemis datang kerumahnya di Kuningan, Jawa Barat, tahun 1938 dan memainkan angklung pentatonis. Bunyi angklung tersebut membuat hatinya tergetar dan membeli angklung pentatonis tersebut. Ketika angklung pentatonis itu ada di tangannya, pikiranya mulai bekerja dan ingin membuat angklung diatonis. Namun, secara teknis, ia tidak bisa membuat angklung.Untuk mengatasi persoalannya, ia belajar kepada pakar angklung bernama Djaya.

Setelah bisa membuat angklung, ia berupaya membuat angklung yang bertangga nada diatonis.Bekalnya membuat angklung diatonis berawal dari kepiawaiannya menguasai beberapa alat musik yang berasal dari Barat, seperti gitar dan juga piano.

Ia menganggap angklung diatonis lebih komunikatif untuk diajarkan kepada anak-anak. Kalau angklung tradisional merupakan angklung renteng yang dimainkan oleh seorang saja, maka angklung yang dibuat olehnya dimainkan secara bersama, setiap orang memegang angklung yang membunyikan hanya satu nada saja, harmoni tercapai dengan kerjasama yang rapih

Menurut Erna Ganarsih Pirous, salah seorang anak almarhum Daeng Soetigna, pada awalnya, permainan angkung ciptaan Pak Daeng ini hanya dikenal di kalangan anak-anak Pramuka di Kuningan. Selanjutnya, setelah angklung diatonis dikenal di kalangan Pramuka sebagai alat musik yang menyenangkan, akhirnya permainan musik angklung diatonis bisa diterima dan diajarkan di sekolah.

Mendapatkan kesempatan memainkan angklung ciptaannya dalam forum Perundingan Linggarjati pada 12 November 1946, yang saat itu dihadari banyak tokoh asing, baik dari Belanda maupun pihak-pihak lainnya. kembali diminta Presiden Soekarno untuk memainkan pertunjukan angklung tersebut di Istana Negara, Jakarta, dalam acara perpisahan dengan Laksamana Lord Louis Mounbatten, Panglima Tentara Sekutu untuk Asia Tenggara, yang juga hadir dalam acara Perundingan Linggar Jati.

Pada tahun 1955 dalam kesempatan acara Konferensi Asia Afrika di Gedung Merdeka, Bandung. Ia juga diminta membuat konser angklung yang dikreasinya itu. Sejak itu, angklung diatonisnya sering di pertunjukan dalam acara-acara resmi, seperti dalam World Fair di New York, Amerika Serikat (1964), dimana ia memimpin pertunjukan kesenian termasuk angklung di paviliun Indonesia selama 8 bulan. Dilanjutkan dengan mengadakan pertunjukan di Belanda dan Perancis. Tahun 1967, ia mengadakan pertunjukan muhibah berkeliling di berbagai kota di Malaysia.

"Sejak itulah pertunjukan angklung diatonis yang kemudian disebut Angklung Daeng Soetigna melanglang buana. Banyak sudah orang-orang dari Amerika, Inggris, Belanda, Jerman, Jepang, Korea, Malaysia, dan negara-negara lainnya yang belajar angklung kepada Daeng Soetigna," ungkap Erna Ganarsih. Malaysia dan negara-negara lainnya belajar angklung kepada Daeng Soetigna. Jadi sangat janggal kalau Malaysia mengaku-ngaku Angklung Daeng Soetigna sebagai produk budaya mereka. "Berkait dengan itu, kami minta kepada pemerintah Indonesia untuk mengklarifikasi masalah ini kepada pemerintah Malaysia," ujar Erna Ganarsih menjelaskan.

Sampai sekarang, Erna Ganarsih sebagai pewaris, belum pernah menerima royalti sepeser pun baik dari pihak seniman dalam negeri maupun dari pihak-pihak yang memproduksi angklung ciptaan ayahnya itu, yang konon dijual ke Jepang, Korea, Malaysia, dan negara-negara lainnya dalam jumlah yang banyak.

Namun atas jasa-jasanya mengembangkan musik angklung, Daeng Soetigna, yang pernah mendapat tugas belajar Colombo Plan ke Australia (1955-1956) ini, mendapat piagam penghargaan dari Gubernur Jawa Barat (1966), piagam penghargaan dari Gubernur DKI Jakarta (1968) Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden Soeharto (1968), Anugerah Bintang Budaya Parama Dharma (2007) dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan diusulkan mendapat gelar pahlawan nasional dari Jawa Barat dalam bidang seni dan budaya

Daeng Soetigna wafat di Bandung, Jawa Barat, 8 April 1984. Untuk melakukan penghormatan terhadap jasa-jasanya, para seniman di Jawa Barat, merealisasikan sebuah acara yang mengambil tema ‘Daeng Soetigna: A-trail Top Inovation In World Music History’, pada 20 Desember 2008 lalu.


Lahir :
Garut, Jawa Barat, 13 Mei 1908

Wafat :
Bandung, Jawa Barat, 8 April 1984

Pendidikan :
Kweekschool (1928)

Karier :
Pengajar Schakel School Cianjur, Jawa Barat (1928-1932),
Pengajar HIS Kuningan, Jawa Barat (1932-1942),
Kepala Sekolah Rakyat Kuningan, Jawa Barat, (1942-1949),
Pegawai Bantu pada Jawatan Kebudayaan Jawa Barat, (1949-1950),
Penilik Sekolah pada bagian kursus-kursus di Kementrian P dan K di Jakarta, (1950-1951),
Dosen Balai Pendidikan Guru, Bandung, Jawa Barat, (1951-1955),
Kepala Jawatan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, (1956-1960),
Kepala Konservatori Karawitan Jurusan Sunda Bandung, Jawa Barat (1960-1964),
Anggota Staf Ahli BAPPENDA Jawa Barat (1980-1984)

Penghargaan :
Piagam penghargaan Gubernur Jawa Barat (1966),
Piagam penghargaan Gubernur DKI Jakarta (1968),
Satya Lencana Kebudayaan (1968),
Anugerah Bintang Budaya Parama Dharma (2007).

(www.tamanismailmarzuki.com)

No comments: